Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Amin sampai di depan rumahnya.
Hari ini ia pulang lewat kerana ada pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini juga.
Rumahnya tampak sudah sepi dan terkunci rapat.
Lampu di ruang tamu juga sudah dimatikan.
Pertanda penghuninya sudah istirehat malam.
Tidak ingin mengganggu siapapun, Amin turun dari kereta dan segera membuka pintu pagar.
Ia selalu membawa kunci pintu pagar dan juga kunci pintu rumah ketika bepergian.
Bunyi pagar dibuka membingarkan keheningan malam seketika.
Perlahan ia masukkan kenderaan, dan kembali mengunci pintu pagarnya.
Tak lama kemudian ia membuka pintu rumah.
“Assalaamu’alaikum…!”
Ucapnya lirih saat memasuki rumah.
Tak ada orang yang menjawab salamnya.
Ia tahu isteri dan anak-anaknya pasti sudah tidur.
"Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu fikirnya.
Melewati ruang tamu yang luas, dia menuju ruang kerjanya.
Diletakkannya beg, fail2 dan kunci-kunci di meja kerja.
Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menyalin
pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarganya yang terbangun.
Rupanya semua tertidur pulas.
Segera ia beranjak menuju kamar tidur.
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur isterinya.
Benar saja isterinya tidak terbangun, tidak menyedari kehadirannya.
Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur.
Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, isterinya.
Amin segera teringat perkataan almarhum ayahnya, dulu sebelum dia menikah.
Ayahnya mengatakan,
“Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya isteri yang sama persis dengan kemahuanmu.kerana kamupun juga tidak sama persis dengan
kemahuannya.
Jangan pula berharap mempunyai isteri yang punya perangai sama seperti dirimu. kerana suami isteri adalah dua orang yang berbeza.
Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu
saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah ketika isterimu tidur.”
“Kenapa di waktu dia tidur?” Tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri.” Jawab ayahnya ringkas
Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud ayahnya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, kerana ayahnya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.
Malam ini, ia baru mulai memahaminya.
Malam ini, ia menatap wajah isterinya sepuas-puasnya
Semakin lama dipandangi wajah isterinya, semakin perasaan di dadanya.
Wajah polos isterinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima.
Raut muka tanpa solek, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat.
Pancaran tulus dari kalbu.
Memandanginya menyemarakkan berbagai macam perasaan.
Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Dalam batin, dia bergumam, “Wahai isteriku, engkau dulu seorang gadis yang bebas melakukan apa saja, banyak hal yang boleh kau perbuat dengan kemampuanmu.
Aku yang menjadikanmu seorang isteri.
Menambahkan kewajipan yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan.
Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu.
Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan.
Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
Wahai isteriku, engkau yang dulu bisa melenggang ke manapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku.
Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku.
Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau korbankan segala masa mu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk mentaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
Wahai isteriku, dikala susah, kau setia mendampingiku.
Ketika sulit, kau tegar di sampingku.
Saat sedih, kau penglipur laraku.
Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku.
Bila gundah, kau penyejuk hatiku.
Kala bimbang, kau penguat tekadku.
Jika lupa, kau yang mengingatkanku.
Ketika salah, kau yang menasehatiku.
Wahai isteriku, telah kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
Wahai isteriku, dikala susah, kau setia mendampingiku.
Wahai isteriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.
Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata.
Akulah yang harus membimbingmu.
Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah
yang harus dipersalahkan kerana tidak mampu mendidikmu.
Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah.kerana kau insan, bukan malaikat.
Maafkan aku isteriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan.
Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh
di pantai nan indah, dengan hamparan keridhaan Allah swt.
Segala puji hanya untuk Allah swt yang telah memberikanmu sebagai jodohku.
Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya.
Dadanya terasa sesak menahan isak tangis.
Segera ia berbaring di sisi isterinya pelan-pelan.
Tak lama kemudian iapun terlelap.
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali.
Aminah, isteri Amin, terbangun sambil terperanjat
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya sang suami telah nyenyak di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil menatap wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya.
Hari ini aku benar-benar kepenatan, sampai-sampai tidak mendengar apa-apa.
Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.
Mau dibangunkan tak sampai hati, akhirnya cuma dipandangi saja.
Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya.
Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya
hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku.
Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapa buat anak-anakku.
Begitu besar harapan kusandarkan padamu.
Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.
Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku.
Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku.
Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk kusandari
Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.
Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku.
Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu.
Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu.
Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan
anak-anak.
Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu?
Seberapapun harta yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu.
Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal soleh membanggakanku.
Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.
Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku.
Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt.
Aku akan patuh kepadamu untuk memjemput redha-Nya"
insya Allah.....

No comments:
Post a Comment